Kita pernah membunuh Tuhan, berkali-kali, mengencingi makamnya dengan kata-kata dari kepala kita yang palus. Kita pernah menertawakan sorga dan neraka, meragukannya demi setiap kepul asap yang lumer di dada, tak ada yang lebih nyata dari api di ujung tembakau yang membara. Kita pernah begitu sumir dengan masa depan setiap janji politisi di negara ini, mungkin akan selamanya sumir, kokoh sebagaimana karang menganjing-anjing gunungan ombak di sagara.
Ya, kita pernah meng-absurd. Kita hanya lelaki-lelaki yang entah bagaimana sampai hari ini masih saja di sini, di titik yang tak lengkap. Titik yang di dalamnya ada ruang kosong di dada kiri kita. Tapi, lelaki mana yang berkuasa menampik?
Aku masih percaya kepada Gibran, bahwa
cinta datang kapan saja, di mana saja, kepada siapa saja, walau cinta datang bersama sayapnya yang berjejarum-berpedangpedang, seseorang akan pasrah saja. Tekun dalam asmara.
Lelaki mana yang mampu menampik? Ketika di dalam hatinya entah bagaimana tumbuh warna merah, semerah jambu batu. Tumbuh rasa manis, serasa madu ditambah gula-gula. Tak ada, tak ada seorang pun. Apa yang tumbuh akan terus tumbuh. Sampai nanti, sampai ia menjadi pohon sejarah, yang kokoh megah meranumkan buah-buah manis. Atau ambruk puruk dan perlahan membusuk. Ah, kita tidak pernah tahu.
Kita hanya lelaki, hanya sampai hari ini masih bertanya-tanya. Tentang apa saja yang bisa kita tertawakan besok hari. Tentang hari ini yang tak kunjung menjadi jawaban. Tentang lalu yang mengalir deras menuju telaga sunyi.
Berbahagialah, karena
jatuh cinta itu entah bagaimana?
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Jatuh Cinta Lagi, Kasmaran Lagi. Jatuh Cinta itu Entah Bagaimana?"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar