Jul, aku pernah menyelinap ke sudut paling lancip di ruang dadamu. Bacin, pengap, pesing. Ceruk luka-luka yang bernanah melahirkan kelelawar, ular, dan lipan. Seharusnya aku mati di sana, tersengat amarah atau tertikam dingin mata batinmu. Seharusnya aku mati saja.
Kekal menjadi bagian dari sunyi di iga-iga kamu.
Hanya saja, aku selalu bertanya, perihal malam itu. Kenapa kau membiarkan lelaki ini mengetuk dinding-dinding rahim di bibir-mu. Bermalam di sana, melukisi ruangnya yang kelabu dengan pewarna dari batang-batang tinta yang aku yakin itu bukan asmara.
Bisa saja kamu mencekik katup-katup jantungku dengan kuku-kukumu. Bisa saja kamu menggerigit urat leherku dengan taring-taring serigala di matamu. Bisa saja kamu menenggelamkanku di dalam sana, di telaga nanah itu yang sudut paling lancipnya adalah neraka-loka.
Aku sempat tersaruk, di urat darahmu.
Tersaruk di kelenjar air matamu. Tersaruk juga di akar-akar payudaramu. Tersaruk dalam pelukanmu yang rimba raya.
Jul, setelah malam itu, setelah setiap jengkal tubuhmu aku bedah sampai cacah. Kau renggut jantung sendiri dengan kedua tangan yang tanpa getar. Kau kecup denyutnya. Kau peluk gelegak darahnya. Kau tersenyum, sampai sudut-sudut bibir merahmu memaritkan darah dan nanah. Kau membebaskanku dari kelenjar batinmu.
"Aku mencintaimu sebelum kematian." Demikian bisikmu, malam itu.
Kemudian kita melolong, mendengar-dengarkan denyut jantung di dada masing-masing. Kita yang berpelukan, kita yang berkecupan.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tentang Teror yang Tak Hentinya Menjelegur di Hati Kamu"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar