Bandung di hatiku berhujan, deras teramat deras. Halilintar menyambar-nyambar, guntur bersahutan, angin menumbuk-numbuk. Badai paling badai, meruncingkan kesendirian.
“Apakah aku mengenalmu?” Kepada sederet pesan singkat di dalam ponsel aku bertanya. Kata-kata paling getas, berdarah dan penuh kutuk, berderet menegas laknat.
“Aku mengerti makna-makna diriku, hanyalah babi nista yang tak perlu kau peduli.”
“Aku semakin tidak mengenalimu.”
Pesan singkat itu, berhamburan dari dalam layar ponsel, huruf-hurufnya seperti gerimis, berjatuhan lalu merayap-rayap di urat tanganku, menyerang jantung, menyerang otak.
Seorang lelaki di dalam cermin, pada mulanya adalah bayangan diriku sendiri, saat ini menjadi sekepul asap. Menari-nari menjadi kepul, membelah diri menjadi dua tubuh, aku dan kamu.
“Lelaki terkutuk. Aku mencintaimu, sesungguhnya mencintaimu.” Teriak bayangmu yang mewujud dari asap.
“Kamu hanya mencintai keinginan-keinginanmu. Aku tetap saja tak tersentuh, tak pernah mampu kau mengerti.”
“Lelaki bodoh! Lelaki batu! Lelaki Iblis!”
“Aku adalah apa saja yang kamu katakan.”
Bayang-bayangku pecah menjadi batu, menjadi iblis, menjadi kepul kebodohan. Melarikan diri dari dalam cermin, menyeruak di hadapanku, terhirup ke dalam dada paling rongga.
“Rasakan itu, lelaki laknat!”
Jemari-jemarimu yang ular, menuduh. Kedua bola matamu, sepenuhnya neraka, memendar api, menyulut bakar, menghangusku menjadi jelaga. Aku tersungkur menjadi debuan, perlahan membatu.
“Kamu tidak akan bisa menjadi apa-apa kecuali batu. Selamanya batu!”
Aku tak lagi berkata-kata, sekujur diriku menjadi batu, beku, keras, cadas, tidak berpikir, tidak merasa. Kamu melarikan diri dari dalam cermin, menjadi tarian asap yang memutar, seisi kamar penuh asap, luap dan penuh amuk.
“Aku tidak akan menyesal. Pergilah ke neraka lelaki bebal!”
Kamu kembali mengutuk yang pengakhiran, celah-celah kaca di jendela menelanmu, hingga bersekutu dengan semesta, menjadi suara-suara kekal di angkasa. Terdengar dalam nyanyian hujan, terucap dalam musim segala musim.
“Selamat tinggal.”
Terkahir kali aku berkata-kata dan selamanya mengimani segala nyata, menjadi batu. Bandung di hatiku, terasa semakin kekal. Berhujan.
Karawang, 14 April 2012Catatan Kaki untuk Hati yang meradang.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Apakah Aku Mengenalmu?"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar