Entah bagaimana seketika aku berada di sini, menatapi hatimu, membaca riwayatmu yang kau pahat di batu nisan karena merasa mati meskipun nafas masih berdengusan. Adakah kau dengar, suara-suara hatiku yang berlarian riuh, menuju tiada, mencecarimu dalam kekosongan.
Segala yang silam, telah karam, menjadi ayat-ayat berkarat, menghuni dingin paling kelam. Segala hangat di waktu yang lalu, mungkin benar pernah begitu hangat. Aku sempat ingin berlama-lama di sana, terkulai di kiri atau kanan memoar, bersebelahan nisan. Menggali-gali tempat tinggal untuk kubenamkan segala harapan tapi itu bukan sesuatu yang benar.
Aku tahu, aku mengerti, hidup tidak pernah terbenam di rencana-rencana purba, tidak juga berputar di kesilaman impian. Untuk saat ini segala silam hanyalah yang gigil paling rajam.
Duniaku, sudah berlainan. Aku dan segala yang patah, kemudian berlayar di antara puing, mengayuh layar-layar harapan yang cabik. Bertarung dengan ribuan Gorgon yang terlahir dari bayang-bayangku sendiri. Seharusnya aku mati dalam perjalanan itu atau mati membatu karena melulu menatap rasa takut. Seharusnya seperti itu, tidak pernah terdampar di dunia ini, tempat aku sekarang melakoni riwayat-riwayat. Dunia yang seterangnya aku selalu merasa berkarat. Dunia yang setelah hadirmu, segala karat menjadi serpih laknat yang segera berangkat menutup riwayat. Semoga…
Seutuhnya, aku ingin kekal menyebutmu, menekuni apa yang disisakan nasib di catatan lain, di kertas lain, di hampar ranah yang lain. Kelak, lihatlah di wajah bumi itu, akan menari manusia paling berbahagia di bumi ini, aku. Menari bersama segala tawa, karena hidup bukanlah kolam gulana. Bersamamu…
Bandung, 11 April 2012
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kekal Menyebutmu"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar