Tidak
lama lagi, Nina genap berusia 11 tahun. “Ayah besok aku ulang tahun, aku ingin
hadiah sepatu.” Bujuknya di sebuah pagi ketika kalender memampang angka 12 di
bulan Maret.
Aku
dan istriku, Natali, sama-sama tersenyum mendengar rengekan mungil itu “Ulang
tahun kamu kan masih 3 hari lagi.” Natali menggoda.
“Ayah
suka lupa sih.” Keluh Nina, wajanya kusut.
“Nggak
dong, Ayah ga akan lupa, janji deh.” Jawabku, merayu.
“Pokoknya
Ayah ga boleh lupa.” Nina menelusup ke dalam selimut.
“Iya,
Ayah ga bakalan lupa kok.” Natali meyakinkan
Nina
masih menikmati selimutnya, kemudian tersenyum ke arah suaraku, Natali
berbaring di sisi kiri Nina, mengusap-ngusap rambutnya. Tangan-tangan mungil
Nina perlahan mengurai selimut, mendorongnya dengan kaki, hingga melorot di
ujung tempat tidur. Tangannya terapung, meminta sebuah pelukan seperti pagi
yang kemarin, kemarinnya lagi dan kemarin dari kemarinya lagi.
“Nina
mau dipeluk ama siapa, Ayah apa Bunda?”
“Dua-duanya.”
Nina tersenyum, tangannya masih melayang. Aku dan Natali memeluknya
berbarengan.
“Ayo
bangun sayang.” Natali mengurai pelukan.
“Peluk
lagi…” Nina merengek.
“Ciumnya
nggak?” Natali merengut.
“Iya
dong…” Nina memelas manja.
Natali
mencium kening Nina. “Ih bau, mandi dulu yuk.” Godaku. Aku memeluknya,
menciumnya, kemudian membopongnya ke kamar mandi.
Hari
sudah beranjak siang ketika Nina telah disulap ibunya menjadi ratu paling
cantik di jagat raya ini. Rambutnya tergerai sebatas bahu, aroma wangi
buah-buahan memendar dari celah-celah lembut rambutnya. Seragam sekolah sudah
sempurna dikenakannya.
Aku
akan menatapnya, terus menatapnya sampai kemampuan menatapku hilang dan jika
mungkin berpindah di kedua bola matanya, agar Nina tahu bahwa dirinya adalah
yang tercantik bagiku dan Natali tentunya, selama sembilan tahun Nina selalu
menjadi yang tercantik di rumah ini, tidak hanya sembilan tahun tapi selamanya.
“Ayah,
jangan lupa ya. Awas kalau lupa!” Nina masih mengancam
“Sepatu
kan? Nggak dong, nggak mungkin Ayah lupa.”
“Janji?”
Nina berjalan mendekat, tangannya melayang-layang, mencari tanganku ingin
menggenggam, ingin aku berjanji.
“Iya
sayang, Ayah janji.” Kugenggam tangannya yang melayang-layang di udara. Nina
tersenyum, wajahnya terlihat cerah, sangat cerah. Cahaya riang terpancar dari
wajahnya, merayap meresap ke dalam hatiku.
“Ayah…”
“Iya
sayang?”
“Bagaimana
kalau nanti siang kita jalan-jalan ke kota?” Tangan mungilnya semakin erat
menggengam tanganku, kepalanya tertunduk diberati harapan.
“Jalan-jalan
ke kota? Mau ngapain kita ke kota?”
“Hmmmm,
mau beli sepatu…”
Apa
yang tidak? Untukmu Nina, aku dan Natali akan melakukan apa saja, apa saja.
Akan tetapi kali ini, permintaan-permintaan kecil itu membubuh nanar, membuatku
sasar.
“Berdua?”
Tanyaku
“Iya,
berdua. Mau kan?”
“Bunda
ga diajak?”
“Ajak
jangan? Ajak? Jangan?” Nina menimang-nimang, Natali merengut menatapi Nina.
“Iya
deh, bunda juga harus ikut.” Nina tersenyum.
“Asyik,
kita jalan-jalan ke kota.” Natali memeluk Nina dari belakang. Nina tersenyum,
bersorai, melompat, riang, sangat riang.
“Eh,
kita pakai motor kan? Aku nggak mau pake angkot, gerah.” Sambungnya.
“Iya
Sayang, pake motor kita.”
“Tapi
aku mau duduk di depan.”
“Ga
mau di tengah?”
“Nggak
ah, bosen di tengah terus. Sekali-kali aku ingin di depan.” Nina merengek,
kepalanya tertunduk penuh harap aku mengabulkan permintaan-permintaan kecilnya
itu.
“Iya
deh, kamu di depan.” Aku mencubit pipi Nina, gemas. Kemudian membawanya ke
halaman, berdiri di depan pagar rumah. Tidak lama lagi, bus sekolah akan
menjemputnya, tepat jam 8 pagi.
Nina
sangat riang. Dari sudut-sudut mataku, aku melihat senyuman terus berlarian
dari celah bibirnya, menjadi genang telaga di wajahnya yang tenang dan pagi ini
terlihat sangat riang.
“Nina, ayo siap-siap sebentar lagi
busnya datang.”
Jam di tembok sudah jatuh di angka 7
lebih 30 sebentar lagi bus sekolah menjemput Nina. Natali menggendongnya,
membawanya ke beranda, menunggu suara mesin bus yang meraung-raung dan klakson
yang setia memanggil.
***
“Ayah,
kenapa berhenti? Lampu merah ya?” Nina menoleh ke belakang, ke arah wajahku.
Aku menatapnya, aku menatap lampu lalu lintas, warna merah menyala terang,
sementara lampu hijau dan kuning meredup kelam.
“Pinter
kamu, iya sekarang lagi lampu merah.”
“Masih
lama?” Tanya Nina.
“60
detik lagi.” Aku membaca waktu lampu merah yang tergantung di atas jalan, angka
digital yang juga berwarna merah.
“Yah,
lama. Satu menit.”
“Kok
1 menit?”
“Iya
dong, 60 detik itu kan 1 menit, kalau 1 jam itu 6 menit atau 360 detik.” Nina
pamer kepintaran, rumus-rumus ilmu hitung memang perkara mudah untuknya, Nina
bahkan mampu menjawab hitungan dengan dijit besar secepat kalkulator.
Perkalian, pembagian, kurang dan tambah, Nina bisa melahapnya dengan mudah. Aku
dan Natali sendiri, seringkali kewalahan meladeni kecerdasan Nina.
“Ayah,
ayo maju. Sudah 1 menit.”
Aku
tersentak, Nina begitu tepat menduga, angka di papan waktu benar-benar menunjuk
detik nol ketika Nina mengatakan itu. Aku memacu sepeda motor, menuju toko
sepatu anak-anak di pusat kota.
“Ayah,
kita ke mall aja yuk.” Natali berbisik.
Aku
berbelok, ikuti rambu, telusuri denyut kota, Nina menikmati terpa angin yang
menarik-narik rambutnya. Tidak lama lagi, kami akan tiba.
Bayang-bayang
Nina terjerat kaca, terlihat sempurna, aku menatapnya. Nina menggenggam
lenganku, menggenggam lengan Natali. Mall terlihat sesak, dikunjungi banyak
orang, anak-anak kecil berlarian di depanku, berkejaran. Nina menoleh ke kiri
dan ke kanan, memerhatikan suara-suara. Toko sepatu anak-anak sudah di depan
mata. Hanya ada seorang ibu bersama anak perempuannya, usia anak itu kurang
lebih satuh tahun lebih tua dari Nina. Mereka memilih-milih sepatu di atas rak.
“Ibu,
aku gak suka warna hijau. Cari sepatu lain yuk,” Rengek anak itu, tangannya
menunjuk ke arah sepatu merah di rak yang lain “Itu Bu, lihat sepatu merah itu
pasti bagus.” Serunya, riang. Nina menoleh ke arah mereka.
“Bunda,
sepatunya cari yang bagus ya.” Bisik Nina. Natali memilih-milih sepatu di atas
rak, hijau, biru, ungu, kuning, coklat, merah, segala warna sepatu ada di sana.
“Bunda
dapet…” Natali merogoh sepatu dari rak.
Tangan
nina melayang-layang di udara ingin menyentuh sepatu pilihan Natali, “Bagus
nggak Bun?” Nina memegangi sepatu itu.
“’Bagus
banget, coba kamu pake deh, pasti kelihatan cantik. Ummmm… seperti putrid
salju.” Natali menurunkan Nina dari pangkuannya.
“Ayah,
sepatunya bagus kan?” Nina memakai sepatu itu, kakinya bergerak-gerak menikmati
sepatu baru,
“Bagusan
warna coklat, sepatu merah itu kurang pas buat kamu.” Ibu-ibu di sebelah Natali
menaruh sepatu merah ke rak. “Tapi aku mau warna merah.” Jawab anaknya, matanya
melirik kea rah Nina.
Nina
mendongak, menoleh ke arah mereka. Kemudian terduduk, sepatunya dilepaskan,
wajahnya seketika berubah mendung.
“Bunda…”
Nina menyodorkan sepatu yang tadi dicobanya.
“Sepatunya
pas kan?” Natali menyimpan sepatu itu di sebelah.
“Aku
ingin sepatu merah.” Nina merengek.
Natali
menatapku, aku merasa pecah, sangat pecah. Nina bisa membedakan apa saja.
Membedakan aku dari orang lain, membedakan uang sepulur ribuan dan dua puluh
ribuan, membedakan coretan tinta dan pensil, menghitung super cepat seperti
kalkulator, tapi Nina tidak akan pernah mungkin membedakan warna-warna. Hijau,
merah, ungu, kuning, biru, putih, apalah arti deret semua warna itu. Di mata
Nina, segalanya hanya hitam, kelam.
“Ayah
aku ingin sepatu merah.”
Rengekan
itu, seperti suara-suara yang kekal, bergema dari sudut hati ke sudut hatiku
yang lain. Tidak akan hilang, tidak akan pernah. Aku terpejam, bola mataku
tertutup, hanya kelam, hanya hitam yang kusaksikan. Tidak ada merah, ungu, kuning dan biru. Tidak ada
warna
“Seperti
ini kah duniamu Nina?”
Aku
menjerit, tanpa suara.
Belum ada tanggapan untuk "The Red Shoes"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar