BUNGA API REKAH DI MATAMU, TEPAT JAM 12.00 MALAM
Absurditas Malka*
Hidup tak pernah berulang, begitu
katamu. Bahkan ketika lelaki asing itu, tak terbantahkan membuatmu heran,
perihal nasib yang rupanya berputar di ruang waktu yang berbeda, dengan peristiwa
yang itu-itu juga.
“Kita belum pernah bertemu, kan? Aku
baru mengenalmu.” Ucapmu.
“Kamu Nadila kan? Rumahmu di Jalan
Aceh.”
“Ya, itu namaku dan di sanalah aku
tinggal.” Jawabmu, tetap tak ingin percaya kepada lelaki yang duduk di depanmu,
lelaki yang baru malam ini bertemu denganmu. Lelaki itu, seperti mampu membaca
seluruh dirimu, termasuk malam ini ketika kamu sendirian di tengah keramaian.
Segala kebenaran kata-katanyalah yang membuatmu mau duduk berhadapan di sebuah
meja kafe yang ramai, dipadati orang-orang, dimeriahkan suara terompet.
Kamu
mencoba mengingatnya, kamu tak bisa mengingatnya. Wajahnya yang pucat, sama
sekali asing. Tak sepetak pun memoar di dalam kepalamu mampu menampilkan barang
selintas, tentang siapa dirinya?
“Kamu lulus SMA tahun dua ribu,
tidak lulus masuk Unpad dan ITB. Kamu kemudian melamar kerja di pabrik tekstil
di Karawang Timur. Kamu bekerja di sana selama tujuh tahun, tepatnya dua ribu
delapan kamu kembali ke Bandung. Di hari ulang tahunmu yang kedua puluh tiga,
kamu dapat kado berupa boneka beruang berwana biru laut, dari Rangga, pacarmu
yang ... hmmm... yang keempat. Ada sebuah surat di dalam kado itu, dibungkus
amplop berwana ungu. Haruskah aku membacakan isi suratnya juga? Apakah ada yang
salah dengan ingatanku?”
Kamu kaget, bagaimana mungkin lelaki
yang baru bertemu itu bisa mengenalimu dengan benar. Bahkan mengetahui perihal
surat itu yang tak pernah kepada siapa pun kamu perlihatkan. Kamu yakin, selama
ini tidak pernah bertemu dengannya, dalam dunia nyata ataupun maya. Tapi lelaki
itu begitu benar mengenalimu, seolah ia berkata, hidup adalah peristiwa yang
berulang. Lakon yang sama di ruang waktu yang berbeda.
“Gila... Tunggu sebentar, bagaimana
kamu bisa mengetahui banyak hal tentangku? Aku yakin, sangat yakin. Aku tidak
pernah bertemu denganmu sebelumnya. Sepertinya, kamu sangat mengenaliku. Apakah
kamu memata-mataiku?” Ada seribu pertanyaan di matamu. Lelaki itu tersenyum, hanya
tersenyum.
Setelah disesapnya kopi yang masih
menguar asap, ia kembali bicara, “Untuk apa aku memata-matai? Tenang saja
Nadila, aku tidak bermaksud jahat. Bahkan ketika aku sebenarnya mengetahui
berapa nomor PIN, ATM dan ponsel-ponselmu itu.”
Kamu kehabisan kata-kata, kamu ingin
membuktikan ucapan lelaki itu. Tapi pasti dia akan menjawabnya dengan benar.
Apa yang harus kamu lakukan? Kamu takut, kamu heran, kamu diketam-ketam segala
macam pertanyaan. Di depannya, kamu berusaha untuk tetap tenang.
“Bukan, ini bukan reinkarnasi.”
Tiba-tiba ia memotong apa yang sedang kamu pikirkan. Kamu tertunduk di
depannya, kamu merasa sangat telanjang.
“Apa,
reinkarnasi maksudmu? Aku tidak percaya.” Kilahmu.
Ketenangan
yang kamu perlihatkan, semakin bergeletar, nyaris sebagian besar dari dirimu
kini dikuasi kegugupan. Lelaki itu menatapmu, seperti ingin menelisik apa saja
yang kamu pikirkan. Kamu tak berani lagi menatap matanya, kamu tertunduk,
memainkan ponsel. Sesekali menatap ke luar kafe, menonton jalanan kota yang
memadat dengan arak-arakan manusia, dan aneka macam kendaraan. Kota yang
hangat, riuh dan bergemuruh dengan suara terompet.
“Namaku,
Danar.” Lelaki itu lagi-lagi mampu menerka apa yang kamu pikirkan.
Kamu
terperangah, kamu gelagapan. Kamu tersenyum tapi di matamu, tetap saja ada
sekian banyak pertanyaan.
***
Kamu
masih merasa pusing, seperti ada bintang yang berputar-putar di kepala ketika
pacarmu, melambaikan tangan dan melaju di dalam mobil. Tanganmu juga melambai,
bibirmu tersenyum, kamu tidak akan pernah lagi melihatnya ssetelah subuh itu.
“Take care, honey...” Gumammu.
Di
luar sana, keramaian sudah terurai, jalanan yang semalam dipadati aneka macam
orang dan kendaraan, sudah kembali lengang. Suara terompet yang sempat
berdengung di seluruh sudut kota, pun sudah hilang. Hanya sesayup saja yang
masih terdengar, berceleret kesepian di tempat nun jauh, entah di mana. Matamu,
menumbuk lantai, kamu tatap bayang-bayangmu sendiri.
Sebelum
pintu tertutup, sebelum kamu kembali terpenjara dalam sunyinya rumah sendiri. Angin
yang lirih subuh itu, merambatkan suara ban yang berdecit, diikuti suara debum.
Suara yang samar, sangat samar.
***
“Nadila,
sebentar lagi tahun baru. Pegang ini.” Ucap lelaki itu, tangannya menyodorkan
sebuah mercon, satu untukmu, satu untuknya.
“Kamu
menyiapkan ini?”
“Ya,
setiap tahun. Ayo, kita cari tempat lapang.”
Ia
menuntunmu, ke luar dari kafe, berbaur dengan orang-orang yang berdesak-desak, tercelup
dalam gemuruh suara terompet dan mesin kendaraan.
“Cepat,
sebentar lagi.” Ucapnya, seraya berjalan lebih cepat menuju taman. Kamu
mengikutinya, melejit-lejit di antara kerumunan.
Kamu
melihat jam di tangan setelah berada di taman, memang tak lengang, tapi
langitnya terbuka, kamu bisa menyulut mercon itu. Menodongkannya ke angkasa,
menyaksikan bunga apinya meledak di langit sana.
“Sepuluh...
Sembilan... Delapan...” Lelaki itu mengajakmu berhitung, sampai sepuluh.
Begitupun orang-orang di sekelilingmu, di semua sudut kota, menghitung
detak-detak terakhir tahun ini, menyambut detak tahun baru yang tinggal 10
detik lagi.
Blaaar.... Blaaar... Blaaar...
Tereeeeett teeet teeeereet...Teeeettt...
Seluruh
kota seketika meledak, dibekap jerit terompet yang serempak didengungkan.
Langit di atasmu, dipulas pendar-pendar cahaya, bergantian dari segala penjuru.
Begitupun kamu dan lelaki itu, menyulut mercon bersamaan, meramaikan rona
langit yang malam itu menjadi aneka warna.
Blaaar....
Bunga api meledak di langit sana, bayangannya hadir di bola matamu,
berpendaran, berkilauan, tepat jam 12.00 malam.
“Sadan?”
Kamu seketika terpaku, kilatan
kembang api yang sekilas itu, entah bagaimana membuatmu teringat Sadan. Lelaki
itu dalam sekian detik kilatan cahaya, membuatmu seperti melihatnya. Kamu
menelisiknya, tetap saja, lelaki itu bukan Sadan, bukan pacarmu yang setahun
lalu mati terjatuh ke dalam jurang berbatu di sebuah tikungan.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?
Apakah aku mirip seseorang? Ataukah kamu sudah bisa mengenaliku...” ia
menatapmu, ia tersenyum.
“Tidak apa-apa. Eh, selamat tahun
baru ya...”
Kamu tersenyum kepadanya, matamu
kembali menonton langit tinggi, menyaksikan aneka kembang api yang berpendaran.
Gluk,
ia menenggak minuman dari botol kaca. Kamu menahannya, mengajaknya
bersulang. Kaca berdenting, kamu bersamanya, menenggak minuman. Ada yang menghangat di leher dan dadamu.
Dingin udara yang menggigit sejenak terurai.
Kamu semakin ingin menatap wajahnya,
ada perasaan terganggu ketika kamu semakin menelisknya. Lelaki itu, lelaki yang
baru malam ini kamu kenali itu, entah bagaimana begitu saja mengingatkanmu pada
Sadan.
“Sepertinya, aku mengenalimu.”
Gumammu.
“Tentu, kau tentu mengenalku.”
Jawabnya.
Kamu terperanjat, rupanya suaramu
yang sekadar bisik itu didengarnya. Dia menatapmu, tersenyum. Kamu meskipun
merasa ditelanjangi, kini berani menatapnya. Ya, lelaki itu benar-benar
mengingatkanmu pada Sadan, meskipun tak satu pun bagian wajahnya yang mirip
dengan pacarmu itu.
“Boleh aku bertanya?” Ucapmu, ragu.
“Aku sudah tahu apa yang ingin kamu
tanyakan. Silakan...”
“Hmmm... Kamu mengetahui aku dari
mana? Kini, aku merasa mengenalmu, tapi entah di mana, entah kamu ini siapa?”
“Pertanyaan yang cerdas, aku
menunggu kamu memikirkan itu dari tadi. Tapi entahlah, aroma tahun baru dan
bising terompet ini mungkin membuat daya kerja otakmu mengendur. Ha ha ha...”
Ia menenggak lagi minuman dalam botol, kamu menatapnya penasaran. “Aku
mengetahuimu dari masa lalu...” Lanjutnya.
“Maksudmu?”
“Kita
sudah lama bertemu, kita sudah sejak lama saling mengenal. Peristiwa ini juga,
sudah pernah terjadi, tahun lalu. Kamu mungkin lupa. Tapi bagaimana aku bisa
lupa?”
Wajahnya
yang pucat, seperti ingin membawamu pada masa lalu, ingin mengajak memorimu
untuk mengingat-ingat apa yang telah terjadi di waktu yang telah berlalu.
Setahun lalu, hanya Sadan bersamamu, hanya Sadan juga yang menatap bayangan kembang api di matamu.
“Benarkah?
Kita pernah kenal? Kamu siapa, kamu bukan Sadan, kan?”
“Coba
ingat-ingat...” Dia terdiam, menatapi bayang-bayang bunga api yang berpendaran
di matamu, yang kiri dan kanan.
“Aku
tidak bisa mengingatnya. Sungguh...” Kamu sudah memutar otak, tetap saja tak
mampu mengingat lelaki itu. Kepalamu mulai pusing, mungkin terlalu
memikirkannya atau mungkin terlalu banyak menenggak minuman.
Ada
banyak hal yang ingin kamu pertanyakan, tapi kepalamu sudah tak tak bersahabat.
Kamu lelah, kamu pusing, kamu tak bisa mengingat apa-apa lagi setelah itu.
***
Kamu
melambaikan tangan ke arah lelaki itu. Kamu melaju dalam mobil. Lelaki itu
tersenyum kepadamu. Kamu tersenyum kepadanya, dari jendela yang terbuka.
“Take care, honey...” Gumammu. Kamu melaju,
meneretas hari yang sudah pagi.
Jalanan
kembali lengang, hanya berhuni tirai kabut yang berhamparan di sepanjang jalan
aspal.
Dari
spion mobilmu, samar-samar kamu menatap lelaki itu yang masih berdiri beku di
tepi jalan. Ia masih melambaikan tangan, ketika tanganmu terlambat memutar stir,
mobilmu terlambat berbelok, menumbuk pembatas jalan.
Mobilmu
melompat ke dalam jurang.
Bandung, 27
Desember 2012
Belum ada tanggapan untuk "Bunga Api Rekah di Matamu, Tepat Jam 12 Malam (Inilah Koran - 14 April 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar