PISAU DAPUR
Absurditas Malka*
Dia selalu merasa baik-baik saja meskipun cara bertindak, bersikap, dan berpikirnya sulit dimengerti oleh orang lain. Sumi menganggap semua lelaki di muka bumi ini adalah iblis yang terkutuk. Dia juga percaya, setiap ibu di muka bumi adalah sumber neraka, kecuali ibunya dan dirinya sendiri.
“Aku harus membunuhmu, lelaki iblis!” Dia bicara penuh amarah, pada bayangannya sendiri di dalam cermin, di kamar mandi. Senyum yang licik dan penuh dendam menyeringai di bibirnya. Beberapa detik kemudian dia sesenggukan, menangisi entah apa. Air matanya yang keruh, menjadi bercak di muka wastafel. Hitam, ronanya hitam.
“Hidupku tidak akan tenang, sebelum melihatmu mati!” Ucapnya lagi, kini suaranya terdengar cekat, parau, geram, dendam.
Dia berhenti menangis, matanya yang pekat, mendelik, membulat, menajami bayangan dirinya di dalam cermin. Giginya bergemelutuk, menahan amukan amarah yang berkobar di dalam dada dan kepalanya.
“Kamu harus mati!” Gumamnya lagi.
Sebilah pisau dapur yang berkarat, sudah digenggamnya dengan tangan kiri. Bayangan pisau di dalam cermin ditatapnya lekat-lekat, pisau itulah yang akan memberinya kebahagiaan. Pisau itulah yang membuat segala lukanya tersembuhkan.
Dia menyeringai, mengendap-endap meninggalkan kamar mandi. Ingin membunuh Dasun, suaminya. Lelaki yang dalam pikirannya adalah iblis paling jahat di muka bumi. Iblis yang harus dimusnahkan.
***
Rumah Dasun selalu menjadi rumah paling sepi di kampungnya. Tidak pernah terlihat orang yang duduk-duduk di beranda, atau tamu yang datang berkunjung. Begitupun Dasun dan istrinya, tidak pernah terlihat. Ciri-ciri adanya penghuni rumah hanyalah suara pertengkaran dan suara perabotan yang dilempar-lemparkan.
“Kapan mereka akan pindah rumah, stress saya punya tetangga seperti itu.” ucap Deni, tetangga sebelah Dasun.
“Memangnya mereka mau pindah, Den?” Tanya Pak RT.
“Tidak tahu. Pusing saya punya tetangga seperti itu. Bagaimana kalau diusir saja, Pak?” Deni terlihat kesal.
“Apa hak kita mengusir mereka, meskipun benar suara-suara keributan itu mengganggu, tapi kita tidak punya hak mengusirnya. Semalam aku mendengar suara ribut-ribut lagi, jam dua malam, aku mendengar suara Sumi berteriak-teriak, mengamuk.” Timpal Pak RT, kanvas wajahnya terlihat lesu.
“O, Tuhan. Gemar sekali keluarga itu berbuat ribut. Tapi semalam saya tidak mendengar apa-apa, mungkin saya tidur terlalu lelap.” Deni mengelus dada.
“Saya kebetulan sedang salat tahajud, jadi saya mendengar semua itu.”
“Apakah mereka baik-baik saja, Pak?”
“Semoga begitu.” Jawab Pak RT, datar “Kalau ada apa-apa dengan keduanya, hubungi saja Bapak, kapan pun.” Lanjutnya seraya menyordorkan lengan untuk berjabat, tidak ingin lama-lama membicarakan orang.
Keduanya saling berjabat tangan, Pak RT berlalu menuju rumahnya yang berada tepat di belakang rumah Dasun. Deni sendiri, melanjutkan pekerjannya, mencabuti rumput di taman, sesekali sudut matanya memicing, mengintai rumah Dasun, sepi.
“Dasun keparat! Mati kau!”
Terdengar suara Sumi yang murka. Tidak lama berselang, terdengar pula suara barang pecah yang beruntun-untun. “Lelaki jahanam! Iblis! Anjing!” Sumi terdengar semakin lantang berteriak.
Telinga Deni menajam, ingin mendengarkan apa yang terjadi. Dia merasa ingin melonjak ke dalam rumah mereka mencegah sesuatu yang buruk, menghentikan keributan itu. Tapi, apalah urusannya?
“Tetangga yang aneh.” Deni berdecak-decak, suara-suara keributan itulah yang kerap di dengarnya di banyak malam. Rutinitas pertengkaran yang selalu berulang. Teriakan yang membuat miris siapa saja yang mungkin mendengar.
***
“Pak RT, apakah tidak sebaiknya kita memanggil Dasun dan Sumi? Barangkali kita bisa membantu mereka.” Ucap Deni, pada malam yang lain.
“Bapak juga bermaksud begitu, tapi sebelumnya lebih baik Bapak sendiri yang bertamu ke rumah mereka.”
“Nah, bagus itu Pak. Kita bukannya bermaksud mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tapi kita juga merasa terganggu setiap hari mendengar suara ribut dari rumah itu. Kalau terjadi apa-apa, kan kita juga yang akhirnya repot.” Midin yang kebetulan sedang bersama Pak RT ikut menimpali.
Setelah percakapan antara Pak RT, Deni, dan Midin, berangkatlah Pak RT menuju rumah Dasun, sendirian.
Jam di tembok menunjuk angka 8 malam, ketika Dasun mendengar suara pintu rumahnya diketuk dari luar. Dasun tergopoh menuju muka pintu, di luar sana, Pak RT berdiri menunggunya.
“Pak RT? Masuk Pak, masuk.” Dasun membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan tamunya duduk.
“Sumi, buatkan minum!”
Dasun berteriak ke arah ruangan kamar. Tidak ada yang menyahut. Di dalam kamar, Sumi belum tertidur, dia tidak peduli pada teriakan suaminya.
“Ngomong-ngomong, ada apa ya Pak?” lanjut Dasum sembari menoleh-noleh ke arah kamar. Sumi tak kunjung menyembul.
“Ya sudah, jangan repot-repot. Tidak usah kaget Pak Dasun, saya datang ke sini ...” Pak RT tidak berbasa-basi, dia langsung menjelaskan perihal maksud kedatangannya.
Dasun manggut-manggut, khidmat mendengarkan semua yang dijelaskan Pak RT. Dia sendiri bingung, apa yang harus dijelaskan, dia hanya meminta maaf perihal keributan yang kerap terjadi di rumahnya dan berjanji untuk bisa meredam keributan itu, agar tidak mengganggu tetangganya. Dasun mengerti rasa tidak nyaman itu tentu hinggap di rumah-rumah tetangganya, jangankan mereka, dirinya sendiri juga merasa tak nyaman, merasa malu.
Sebelum pamit, Pak RT melirik ke arah kamar yang diduga kamar tidur Sumi. Tidak ada yang menyembul, seperti yang dikatakan tetangganya, Sumi tidak pernah mau menghormati tamu-tamu suaminya, dia mengurung diri di dalam kamar, membuatkan air pun, harus dipaksa. Kalau sedang baik, dia baru mau. Kebanyakan dia hanya diam, tak acuh.
***
“Bang, tidur yuk.”
Sumi mengerlingkan mata, berahi terlihat membakarnya sampai ubun-ubun. Dasun merasa enggan, bukan karena ia tak cinta, tapi merasa ia sedih. Hasrat berahinya tak sebanding dengan gelora berahi istrinya yang selalu membara. Dia tahu, dia tidak akan bisa memuaskan istrinya. Dia juga tahu istrinya akan mengamuk di setiap kali pergumulan itu berakhir payah. Sampai kapan akan seperti itu? Seumur hidup?
“Aku sudah selesai.” Bisik Dasun, lirih.
Sumi diam tidak berkata-kata, sunyi. Dia mengibaskan selimut, pergi meninggalkan ruangan kamar. Dasun telentang, menatapi atap, menatapi bola lampu. Matanya berkerjap-kerjap. Silau.
Prang!
Terdengar suara barang pecah dari arah dapur, Dasun menghela nafas dalam-dalam. Suara itu seperti belati tajam yang mengiris-ngiris hatinya. Dasun memejam mata, merasa-rasakan haru di dalam jiwanya. Lama berselang, tak ada suara apa-apa, Dasun menyesap haru sendirian. Dia merasa payah, betapa hasrat-hasrat istrinya tak mungkin terpuaskan.
Di muka pintu, bersama bola mata yang bergelora oleh perasaan-perasaan kecewa, Sumi berdiri dingin. Di tangannya sebilah pisau digenggam erat. Pisau dapur yang setengah berkarat.
“Lelaki iblis!” Bisik Sumi, didekatinya tubuh Dasun yang telentang. Api semakin berkobar di matanya, membakar akal dan hatinya.
Jlap! Jlap! Jlap!
Pisau dapur menghujani tubuh Dasun, darah mengalir di atas ranjang. Setelah tidak ada lagi kerjat, segala-galanya menjadi hening. Sumi merasakan perih di bola matanya, terlebih di kedalaman hatinya yang kelam sebagaimana malam. Dia kini seharusnya berbahagia, lelaki iblis itu telah menjadi santapan pisau dapurnya. Dia seharusnya merayakan kemenangan. Tapi hening di sekujur diri, menyihirnya dengan perasaan yang tak pernah ia duga. Perasaan paling lara yang tak pernah sekalipun dialaminya, perasaan kehilangan yang membuat hatinya lebih tersayat-sayat dari pada tubuh Dasun yang bersimbah darah dan tertusuk-tusuk pisau dapur miliknya.
Di dinding kamar, dia melihat bayang-bayang, melihat masa lalu, melihat apa saja yang pernah dilewatinya selama ini bersama Dasun, suaminya yang disebut si lelaki iblis.
Betapa ia teringat, sebenarnya Dasun di setiap kali dirinya mengamuk tak pernah balas mengamuk, hanya menubruknya agar tenang, agar diam. Betapa, Dasun di setiap kali dipukuli, hanya diam tanpa balas, merasa-rasakan ulu hati yang mual dihantam tinjunya. Betapa, Dasun hanya berkata kasar sebagaimana dirinya berkata yang sama ketika amarah pecah di setiap pembuluh darah.
Adapun dia tidak mampu memberikan risiko dapur yang mewah, itu pun dia berterus terang dan tetap berupaya memenuhinya. Termasuk kekalahannya di atas ranjang, dia juga bersedih, tak mampu memuaskannya sampai mengerang. Semua itulah, semua kekecewaan itu, yang kemudian membuat hati Sumi menjadi bulat, merasa harus membunuhnya. Membunuh suaminya yang miskin, yang juga tak memuaskan di atas ranjang, suami yang dia sebut lelaki iblis.
Sumi, meracau. Tangannya meraih gagang pisau yang menancap di leher Dasun, dia tersenyum. Mulutnya bergumam-gumam, tak terdengar suaranya. Sumi menatapi pisau dapur yang berpulas merah, disentuhkannya mata pisau ke urat lehernya sendiri. Dingin, sedingin kematian. Dingin, sebagaimana hatinya.
Bandung, 16 April 2013
Absurditas Malka, calon pedagang ikan bakar di Bandung dan calon layouter di Jakarta :D
Belum ada tanggapan untuk "Pisau Dapur (Cerpen Ditolak Koran Mulu)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar