Kelenjar air matanya sudah mengering, entah sejak berapa tahun silam. Dia tidak berkuasa lagi untuk menuruti kesedihan, kemurungan, dan segala macam rasa pahit kehidupan. Dia hanya ingin menikmati apa pun yang terjadi dalam sisa hidupnya, itu saja. Dia telah bersumpah untuk itu, untuk berbahagia.
“Ibu, aku mau itu. Aku mau itu!” Agis, anaknya yang baru berumur dua tahun meronta-ronta, telunjuknya yang mungil menunjuk mainan di roda pedagang mainan keliling yang setiap hari lewat ke depan rumahnya.
“Ibu nggak ada duit.” Ucapnya, sembari memeluk Agis, meredam segala keinginan anaknya yang tentu tidak mengerti tentang asal-muasal uang. Agis meronta dalam pelukan, telunjuknya tetap saja mengacung, menunjuk-nunjuk mainan yang bersolek di roda pedagang keliling.
“Berisik! Suruh dia berhenti menangis! Bapak sedang sakit!” Teriak Bapaknya, dari ruang tengah. Tubuh bapak sudah sejak dua bulan silam, terbaring didera aneka macam penyakit, diabetes, jantung, dan penyakit lainnya.
Tubuh Bapak yang gempal dan bergelambir, kini sudah kerontang, kulitnya yang keriput terlihat lengket membalut tulang. Wajahnya pucat, pasi, dengan tulang pipi yang bersembulan nyaris mengubur matanya yang semakin cekung. Darah tak pernah berhenti mengalir dari kaki dan tangannya yang terluka, saat dia mengamuk ingin dilepaskan dari ikatan.
“Iya Pak, ini lagi diurus.” Jawabnya datar.
Diusap-usapnya punggung Agis, bocah itu kini sesenggukan, menangisi keinginan-keinginannya yang selalu karam, tenggelam, direndam kenyataan bahwa emaknya tak punya uang. Segala keinginannya yang kanak-kanak itu hanya berakhir dalam sebuah usapan lembut ibunya. Seringkali begitu.
“Ya Tuhan, sampai kapan semua ini akan begini. Aku tegar menerimanya, aku ikhlas. Tapi, sampai seberapa lama lagi?” Gumamnya.
Agis sudah berhenti menangis, dia bermain sendirian. Bapak terdengar memanggil-manggil, suaranya yang renta terdengar seperti keresak ranggasan daun, pudar dan perih.
“Basah! Ganti sarung Bapak!” Ucap Bapak, suaranya cekat. Kakinya bergerak-gerak menjauhkan kain sarung dari tubuhnya. Nafasnya berdengus-dengus, menahan lelah dan rasa sakit, selang infus melesak ke lengannya.
Bapak tidak lagi dirawat di rumah sakit, keluarganya sudah kehabisan uang. Sebelum dirawat di rumah, Bapak sempat dirawat selama 2 bulan di RSUD kota Jakarta, memakai biaya sendiri. Ratusan juta sudah dikeluarkan, tetap saja Bapak tak kunjung sembuh. Jangankan sembuh, membaik pun tidak. Kini keluarganya selain jatuh miskin karena telah menjual segalanya untuk pengobatan Bapak, juga terjerat utang sangat besar yang entah bagaimana harus melunasinya.
Urang ratusan juta itu dipinjamnya dari adik bapak, dari saudaranya sendiri, tapi suatu saat tetap saja harus dilunasi. Entahlah bagaimana melunasinya, yang terpikir saat ini hanya bagaimana menyembuhkan Bapak, membuatnya bersabar, menjaga hatinya sendiri agar tetap tegar.
“Ibu, aku lapar. Mau makan.” Agis kembali merengek, wajanya terlihat mendung. Dia tersenyum, dipangkunya bocah kecil itu, dipeluknya, dibawanya ke ruang dapur.
“Duduk di sini Nak, kita buat makanan.” Ucapnya, sembari membuka lemari es, isinya hanya botol-botol air minum, dua butir telur dan sebungkus mie yang tersisa. Tidak ada apa-apa lagi, kecuali bunga-bunga es yang menebal di freezer.
Ingin rasanya dia menangis, ingin rasanya meratap. Hanya saja, hidup sudah pahit, untuk apa diratapi, hidup hanya sekali, untuk apa ditangisi. Begitu pikirnya, selalu begitu. Dia menatap Agis, lekat, sangat lekat. Selalu ada tenaga maha besar ketika menatapinya, selalu ada banyak harapan. Agis, manusia satu-satunya yang membuat dia masih mau menerima segala macam deraan nasib. Apa pun itu!.
Lelaki yang menjadi suaminya, sudah pergi bersama perempuan lain, ketika Agis masih berusia lima bulan. Lelaki yang dahulu sempat dan selalu mengatakan bahwa ia rela berkorban apa saja demi dirinya. Lelaki yang di kemudian hari adalah yang begitu bebal, menyayat-nyayat hatinya dengan sembilu, menaburinya dengan garam.
“Julia! Julia!” Bapak terdengar berteriak, suaranya parau.
“Ya Pak, sebentar.” Sahutnya, dia menunda mie di atas meja makan yang kosong. Panci berisi air sudah disimpannya di atas kompor. Dia berlari tergesa menuju Bapak, Agis ditinggalkannya sendirian.
“Julia! Julia!” Teriak Bapak lagi.
“Kenapa Pak?” Dia menghampiri Bapak, melihat ke sana ke mari, barangkali ada sesuatu yang membuat Bapak tak nyaman.
“Lama sekali kamu, Julia!” Bapak terlihat kesal.
“Bapak kenapa, Pak?” Tanyanya, lembut.
“Lepaskan selang ini, lepaskan. Bapak sakit.” Ucap Bapak, tangannya yang disuntik selang, bergerak-gerak ingin lepas, tapi tali perban mengikatnya ke besi ranjang.
“Tidak boleh, Sabar ya Pak, selang infusnya tidak boleh lepas.” Paparnya, penuh sabar mengurusi Bapak. Memegangi tangannya yang terus bergerak-gerak ingin dilepaskan dari ikatan.
“Halah!” Bapak membanting tangannya ke atas kasur.
Kedua tangannya terikat ke besi ranjang, agar tidak meronta, agar tidak berupaya melepaskan selang-selang yang tersambung ke tubuhnya. Bapak terlihat menderita, tali-tali perban yang mengikat lengannya membuat tangan Bapak lecet-lecet. Tapi itu harus dilakukan, demi Bapaknya juga.
Bapak membisu, tidak meronta, tidak bergerak, hanya dadanya yang semakin ringkih saja terlihat kembung kempis. Matanya begitu kosong, menatap langit-langit kamar. Mungkin mencari-cari ibu, mungkin mencari-cari Tuhan, mungkin mencari sesuatu yang lain, barangkali kesembuhan. Lama Bapak terdiam, sepertinya tidur.
Dia kembali ke dapur, melanjutkan membuat makanan untuk Agis. Wajah ibu berkelebat dalam ingatannya, menari-nari di keheningan hati. Sudah empat tahun, ibu pergi jauh, sangat jauh. Dan tidak akan pernah kembali, tidak sejenak pun, tidak akan mungkin.
“Ibu tidak akan kembali ke rumah, ibu akan mati di sini. Kamu, jaga Bapak baik-baik.” Begitu kata-kata yang terakhir yang didengarnya dari mulut ibu, melalui sambungan telepon dari negara tetangga. Ibu dipenjara di sana, katanya akan dieksekusi hukum gantung, tidak lama lagi.
***
“Semua orang menjauh, semua orang menghilang.” Gumamnya. Dia malam ini merasa sangat sendirian, anak manusia macam apa kiranya yang tidak menangis didera nasib seperti itu, tapi dia benar-benar tidak bisa menangis. Matanya hanya mampu melarikan rasa perih, tak ada air mata, setitik pun tak lagi ada.
Dia masih terjaga di kursi tamu, selalu terjaga sepanjang malam sampai menjelang siang. Dia baru akan tertidur setelah ada saudaranya yang bergantian merawat Bapak. Semalaman, dia akan menatapi Bapak yang meskipun tidur, tubuhnya tak pernah diam, selalu bergerak-gerak. Berkerjat-kerjat ingin dibebaskan dari tali ikatan, dibebaskan dari rasa sakit.
Dunia yang ditinggalinya terasa sangat sepi. Dia genap ditinggalkan, oleh ibunya empat tahun silam, suaminya dua tahun lalu, sahabat-sahabatnya, semua orang yang sempat begitu dekat denganya. Pergi, pergi, menjauh. Hanya Bapak yang tersisa, dan Agis yang sudah tersungkur menabuh dengkur di atas hampar tikar pandan. Malam semakin hening, dia tersaruk-saruk di semesta kesunyian yang panjang. Seolah tanpa akhiran.
***
Hari masih sangat pagi keitika ponselnya berdering, ketika suara dari seberang sana, membawa kabar paling hitam dalam hidupnya. Ponselnya berdering, layar berdenyar kuning kehijauan. Dia melihat nomer baru di layar ponsel.
“Halo.” Sapanya, ragu.
“Apakah benar ini ... ?” di seberang sana, terdengar suara berat seorang lelaki, menyebut nama lengkapnya.
“Ya, saya sendiri. Ini siapa?” Dia coba mengingat suara itu, mungkin pernah didengarnya. Sama sekali asing, sangat asing, tak sekali pun dia pernah mendengarnya.
“Saya dari pihak berwenang ...”
Suara lelaki di dalam ponsel terus bicara, suaranya seperti belati, menyayat-nyayat seluruh jiwanya. Lelaki itu mengabarkan perihal eksekusi ibunya yang akan dilaksanakan besok pagi. Dari sudut-sudut matanya, mengalir rasa pedih yang tanpa air mata. Dia ingin menangis, dia ingin meratap, tapi air matanya sudah kering, kelenjar-kelenjar matanya sudah pecah, tak ada lagi yang bisa dilarikan.
Ponsel masih berdenyar, suara berat lelaki itu masih berhamburan, dia tak lagi bisa berkata-kata, tangannya layu, terkulai.
Dia merasa hancur, merasa sepi, merasa kehilangan. Dia merasa tak ada bahasa yang mampu merangkum segala apa yang dirasakannya di dalam dada. Besok pagi, ibunya akan dieksekusi hukum gantung, di sana, di negeri tetangga. Di tempat nun jauh, teramat sangat jauh.
“Ibu...” Dia tercekat, batinnya menjerit, menyebut nama ibu.
Ditatapnya Bapak yang dalam tidurnya berkerjat-kerjat, meronta ingin dibebaskan. Ditatapnya Agis yang masih tersungkur tanpa dengkur. Ditatapnya kekosongan, dia pecah berserak, sendirian, berpendar di keheningan. Seluruh hari, sempurna menjadi gugus cekam yang paling hitam. Sunyi. Sendirian, ditelannya segala kelam.
***
“Julia...” Bapak terdengar memanggil, samar, suaranya sangat samar. Dia berkerjap-kerjap, didengar-dengarkan suara panggil itu. Dia merasa bermimpi, tapi suara itu kembali terdengar, “Julia...”
“Bapak!” Dia tersadar, kantuk telah merenggutnya sekejap. Dia berhambur menuju tubuh Bapak.
Keringat besar membasah di kening Bapak, segala macam kerjat kini tak terlihat, Bapak terlihat tenang, matanya yang bercahaya perlahan memudar, sampai tak lagi memantulkan cahaya. Tak ada lagi kilatan kehidupan di mata Bapak.
Dia memeluk Bapak, keheningan menjadi semesta yang paling nyata. Di sudut-sudut matanya berlarian kesunyian, mengalir deras, menenggelamkannya jauh sangat dalam, di lubuk nyeri yang tak berdasar. Julia tak lagi memiliki air mata.
Bandung, 19 April 2013
Baik-baik di sana, doakanlah yang telah tiada. Wish you all the best, Jule.
Belum ada tanggapan untuk "Tak Ada Air Mata di Bulan Juli"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar