NGUBUH KUCIT
Absurditas Malka*
Pekerjaannya sebagai ngubuh kucit sudah berlangsung puluhan tahun, diwarisinya secara turun-temurun. Dari hasil berternak babi itulah, Sadun menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak, dan membangun masa depan yang cerah. Babi-babi hasil ternaknya sudah melanglang buana, pangsa pasarnya tersebar di berbagai benua.
“Juragan, akhir-akhir ini babi kita bertingkah aneh.” Ucap Damin, pekerja di peternakan babi Sadun.
“Aneh bagaimana, Mas Damin? Apakah babi-babi kita sakit?” Tanya Sadun, penasaran.
“Tidak Juragan, justru terlihat sehat. Tapi, mereka sepertinya sedang merencanakan sesuatu.” Jawab Damin, ragu.
“Ha ha ha... Ha ha ha... Kamu ini, ada-ada saja.” Sadun terkekeh mendengar perkataan Damin.
“Loh, juragan kok malah tertawa.” Damin terbengong kikuk.
“Masa iya babi merencanakan sesuatu, Mas Damin. Mereka kan hanya babi, ha ha ha. Sudahlah... Urusi saja babi-babi itu, berikan pakan terbaik. Minggu depan kita akan mengekspor 100 ekor babi ke Paris.” Jawab Sadun sambil berlalu, bibirnya mengulum senyum, betapa tidak, ucapan Mas Damin tadi terdengar sangat lucu.
Damin masih mengatakan banyak hal perihal keanehan-keanehan babi, tapi apalah daya Juragan Sadun sudah berlalu.
Ratusan ekor babi di dalam kandang terbuka, menatapinya iba. Damin meraih pakan dalam ember, dibawanya ke tengah peternakan, sudah waktunya memberi babi-babi itu makan.
***
Waktu makan adalah waktu yang tepat untuk bermusyawarah. Begitupun dengan para babi di peternakan babi milik Juragan Sadun. Para babi sudah berkumpul di pusat peternakan, mereka berpura-pura menikmati jatah pakan, namun sebenarnya mereka sedang membicarakan sesuatu, tanpa diketahui Damin apalagi juragan Sadun.
“Kawan-kawan babi sekalian, bagaimana rasanya pakan ini sekarang?” Tanya Raja Babi, dia menatapi kawanan babi lainnya.
“Tidak enak, kurang lezat!” umpat Dogol, si babi berbulu merah. Dimuntahkannya kembali pakan yang tadi dikunyahnya.
“Benar, pakannya tidak enak!” timpal Wajik, babi bermuka persegi.
“Nah, kalian sudah tahu kan. Dampak kenaikan BBM berimbas kepada kita juga. Pakan kita menjadi tidak lezat, Juragan Sadun pasti membeli pakan murahan!” bisik Raja Babi.
“Kalau makanan kita seperti ini, anak-anakku bisa kurang gizi, sakit-sakitan, dan mungkin mati muda.” Ucap seorang ibu babi yang sedang menyusui 8 ekor anak babi.
“Raja Babi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Dogol.
“Tenang, semua tenang. Kita akan melakukan sesuatu agar Juragan Sadun mau membeli lagi pakan dengan kualitas terbaik.” Ucap Raja Babi penuh keyakinan.
“Bagaimana caranya?” tanya Wajik, penasaran.
“Demo!” pekik Raja Babi.
“Demo? Bagaimana kalau kita ditembak aparat keamanan?” jawab Dogol, raut mukanya terlihat gentar.
“Ha ha ha... Kita aksi damai saja, bila perlu kita sharing pemikiran dengan Juragan Sadun.” Jawab Raja Babi.
“Baiklah, ide yang bagus. Tapi bagaimana cara memulainya.” Dogol masih belum mengerti dengan apa yang akan dilakukan Raja Babi.
“Sssst... Damin sepertinya memperhatikan kita. Ayo, makan lagi.” Raja Babi memberi isyarat agar para babi terdiam.
Di pinggiran kandang, Damin berkerut dahi sendirian. Dia seperti mendengar percakapan, tapi samar, berbaur dengan suara-suara guikan babi. Tapi dia merasa yakin, mendengar suara percakapan.
“Siapa yang ngobrol?” gumam Damin, ditatapnya kerumunan babi di tengah peternakan, “Tidak mungkin babi-babi itu.” Lanjutnya.
Damin berjalan mengelilingi peternakan, mungkin ada beberapa orang di dekat peternakan yang sedang mengobrol. Tidak ada siapa-siapa. Damin kembali menatapi kerumunan babi, semuanya terlihat asyik melahap pakan mereka.
***
Rembulan di atas langit mencucurkan sepi yang jernih malam itu, malam ketika ratusan babi seketika menjadi ribut. Damin terjaga dari lamunannya, ditinggalkannya pemandangan rembulan di atas sana. Dia tergopoh-gopoh menuju kandang, mencari tahu kenapa babi-babi itu mendadak ribut. Apakah ada pencuri? Atau ada makhluk buas yang menyerang? Atau ada sesuatu yang lain?
Damin mendengar suara-suara yang berteriak, suara orasi, suara keributan yang bergemuruh. Dia berlari semakin dekat ke kandang peternakan. Sssttt... Damin seketika membeku di depan kandang peternakan, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Babi...” gumam Damin, cekat.
Di dalam kandang terbuka, dia menatap ratusan pasang mata yang menyala. Ratusan pasang mata babi yang mengusung spanduk, poster, dan pamflet. Babi-babi itu berdemonstrasi, dipimpin oleh Raja Babi.
“Damin, panggil Juragan Sadun sekarang!” teriak Raja Babi melalui mikropon.
“Damin! Hoi! Kenapa kamu hanya diam, ayo panggil Juragan Sadun.” Teriak Dogol yang kesal karena melihat Damin yang beku.
Damin tidak bisa berbuat apa-apa, ketika ratusan babi berlompatan dari kandang, mengepung dirinya. Ratusan babi sudah melingkarinya, mata mereka menyala seperti lampu senter.
“Kami akan menahanmu sebagai sandera.” Ucap Dogol sembari mengikat kaki dan tangan Damin.
Setelah diikat erat-erat, Damin digusur oleh babi-babi itu, dibawa ke tengah peternakan. Raja Babi menggeledah pakaian Damin, direbutnya ponsel dari saku baju Damin.
“Telepon Juragan Sadun.” Ucap Raja Babi, sembari melemparkan ponsel ke arah si Dogol.
Ponsel sudah tersambung, tapi di dalam kamar sana, Sadun sudah terlelap. Butuh belasan kali panggilan untuk bisa memecahkan tidur lelapnya. Nada dering yang terus berulang, membuat tidur Sadun pada akhirnya berantakan.
“Busyet, sembilan belas panggilan tak terjawab, Damin.” Sadun berkerjap-kerjap menatapi layar ponsel. Tidak lama kemudian, ponselnya kembali berdering.
“Damin! Ngapain nelepon malem-malem, saya sedang tidur.” Ucap Sadun, kesal.
“Guik, guik, guik.” Hanya suara babi yang berguik-guik didengar Sadun dari dalam ponselnya.
“Damin! Apa-apaan ini, berisik!” umpat Sadun, semakin kesal.
“Halo Juragan Sadun... Ini bukan Damin, kami adalah para babi. Kami menyandera Damin untuk kamu tebus. Datanglah ke peternakan sekarang! Ingat, jangan melapor polisi!”
Tut tut tut
Sambungan telepon terputus, Sadun tidak mengerti perihal apa yang baru saja didengarnya. Dia masih mengantuk, tapi telepon barusan membuatnya penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Damin. Tidak biasanya menelepon malam-malam, pasti ada sesuatu yang penting. Perkara yang penting bagi Sadun adalah babi-babinya, bukan Damin. Dia tidak mau kalau babinya yang akan diekspor itu mengalami sesuatu yang buruk. Dia harus memastikan babi-babinya baik-baik saja.
“Malam yang terkutuK!” gumam Sadun.
Bersama rasa kesal, Sadun berjalan terkantuk-kantuk menuju peternakan. Di dalam kepalanya ada pertanyaan yang berkeliar, rasa cemas akan babi-babinya. Setelah menyeret kakinya, akhirny Sadun tiba di depan peternakan.
“Juragan, tolong saya...” Teriak Damin yang sudah terikat, suaranya terdengar getir.
“Busyet! Apa ini?” Sadun melonjak tak percaya dengan pemandangan absurd di depan matanya.
Damin terikat tak berdaya dalam kepungan ratusan ekor babi. Sementara babi-babi itu mengacung-acungkan perlengkapan demo. Sadun bergetar melihat semua itu.
“Selamat datang, Juragan Sadun.” Sambut Raja Babi melalui mikropon, dia tersenyum melihat Juragan Sadun yang terlihat bergeletar ketakutan.
“Ini hanya mimpi. Ini hanya mimpi.” Sadun menggosok-gosok matanya, tetap saja tak ada yang berubah, dia melihat ratusan babi yang berdemonstrasi.
“Kamu tidak sedang bermimpi Juragan Sadun. Ini nyata.” Ucap Raja Babi, dia berhenti sejenak dan berjalan mendekati Damin yang terikat, “Lihat, pekerjamu ini akan kami tahan sampai kamu memberi pakan berkualitas tinggi dan menjaga kesejahteraan para babi di peternakan ini.” Lanjutnya.
“Mimpi yang sangat buruk.” Gumam Sadun.
***
Segala-galanya berubah dalam waktu semalam. Aksi demonstrasi para babi akhirnya menjadi revolusi. Majikan yang dulu berkuasa, kini menjadi budak nista. Begitupun sebaliknya, budak hina kelana menjadi majikan yang berkuasa.
Peternakan Juragan Sadun, tidak lagi dikuasai Damin dan Sadun. Tapi dikuasai oleh para babi. Raja Babi kini tinggal di rumah Sadun, tidur di kamar mewah, yang kasurnya empuk, bahkan bisa mandi dengan pilihan air hangat atau dingin, di bathtube. Begitupun rakyat babi lainnya, kini hidup sejahtera, makananya bergizi tinggi dan menyehatkan.
Sementara kehidupan Sadun dan Damin, seperti roda yang berputar. Tidak hanya dari segi ekonomi, juga dari segi martabat. Keduanya tak lagi menempati kasta diri sebagai manusia, keduanya telah menjadi ternak para babi.
Sadun dan Damin, dipelihara di dalam kandang, diperlakukan sebagai ternak. Diberi makan dengan pakan murahan, dimandikan dengan air kotor, tidur di atas tanah basah berlumpur.
“Juragan Sadun! Mas Damin! Waktunya makan siang.” teriak Dogol dari pintu kandang. Di bahunya terlihat karung besar yang berat, dipegangi dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya memegangi es krim cokelat yang mulai meleleh. Setelah melahap sisa es krim di tangannya, Dogol menurunkan karung besar itu.
Dogol mengeluarkan makan siang dari dalam karung, makanan untuk Damin dan Sadun. Makanan dari cangkang jagung yang masih muda, ditaburkan di atas tanah berlumpur, tanpa alas. “Nikmati makan siang kalian!” ucap Dogol sembari terkekeh, dia meninggalkan peternakan.
“Terkutuklah para babi!” gumam Sadun, suaranya terdengar penuh nestapa.
Bandung, 22 Juni 2013
Sumber gambar; Inilah Koran.
Belum ada tanggapan untuk "Ngubuh Kucit (Inilah Koran, Minggu - 30 Juni 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar