GOD (Don’t) SAVE THE QUEEN
Absurditas
Malka*
Dia masih mencari jalan untuk
melarikan diri dari negeri dongeng. Dia berlari ke segala arah mata angin,
tetap saja pelariannya berakhir sia-sia. Setiap ujung dari arah tempuh, hanya
membawanya pada kebuntuan. Tentu, dia tidak akan menyerah, selama hidup masih
memberinya jatah.
Angin berkesiut, meniup daunan,
mengusap keringat yang masih meleleh di sekujur tubuhnya. Dia bersandar di batu
besar, di bawah pohon meranti yang rindang, meringankan nafasnya yang masih
tersengal. Di pahanya yang berselonjor, sang pacar terlentang, tengadah
menatapnya penuh kasmaran.
“Bang,
tidak ada dunia lain di luar sana. Di sini kita hidup, di negeri dongeng ini.
Sampai kapan Abang akan berlari? Lupakan fantasimu itu, aku tidak mau Abang
menjadi gila...” Perempuan dengan bibir yang bertabur mawar, pipi yang
bersemburat rona senja, dan mata yang dihuni kejora itu, tak pernah lelah
mengingatkan pacarnya.
“Fantasi katamu? Tidak Ningsih,
tidak... Negeri dongengan inilah yang sebenarnya fantasi. Dunia yang nyata,
dunia sejati berada di luar sana. Aku hanya butuh waktu untuk menemukannya,
membamu ke sana. Dan kita akan berbahagia di dunia nyata.” Dia tak pernah
percaya pada kata-kata pacarnya.
“Kenapa kamu selalu meragukanku,
Bang?” Ningsih terlihat kecewa, matanya yang kejora seketika diluapi gemawan
paling mendung, paling murung.
“Ningsih, aku mungkin meragukan apa
saja, tapi aku tidak pernah meragukan rasa cintamu. Setidaknya aku akan selalu
percaya pada cintamu. Selain dunia nyata di luar sana, cintamu adalah yang
nyata juga.” Segaris senyum berhujan dari bibirnya, dia mengerti perihal
kegelisahan-kegelisahan pacarnya. Tapi dia harus mencari dunia yang diyakininya
ada di luar sana.
“Bang, apa salahnya dengan negeri
dongeng ini? Bukankah kita berbahagia hidup di dunia ini?” Ningsih kini
mengangkat tubuhnya, didekatinya wajah lelaki pemburu fantasi itu.
Ditempelkannya kedua bibir yang penuh mawar itu di bibir sang pacar.
“Semuanya serba salah di negeri ini,
Ningsih. Kenapa kamu begitu buta? Apakah cinta ini yang membuatmu buta?” Dia
melengos, selalu ada rasa kecewa di setiap kali sang pacar menolak gagasannya
tentang dunia yang selalu dicarinya. “Pemimpin kita yang cantik itu, nyatanya
penjahat. Dia menumpuk-numpuk kekayaan di lemarinya sendiri, dia ingin menjadi
ratu yang kekal, dia ingin menguasai semua nyawa di negeri ini. Dia dan
keluarganya begitu kaya raya, sementara rakyat di negeri ini teramat sangat
papa. Bukankah itu sesuatu yang sangat salah, sangat gila?”
“Baiklah, dunia itu ada, dunia ini
salah. Tapi jangan biarkan mawar-mawar di bibirku mengetuk ruang kosong.” Ningsih
memburu wajah sang pacar.
Angin kembali berkesiut, daunan
kering ranggas di atas sana. Jempalitan di awang-awang, jatuh nun di suatu
tempat sana. Dia dan Ningsih, di balik batu, berdua menyulam angin dengan
asmara.
***
Penduduk negeri dongeng di ujung barat tumpah
ruah di jalanan. Mereka sedang menunggu sang ratu, pemimpin negeri dongeng.
Mereka berebut ingin berdiri paling depan, ingin melihat dari dekat rupa sang
ratu.
“Ratu datang...” Seorang perempuan
dengan kebaya lusuh, berbisik gugup kepada temannya. Tangannya ingin menunjuk
ke arah kereta kencana yang ditunggangi sang ratu, tapi ia tak berani. Tidak
ada seorang pun yang berani. Semua penduduk menunggu kereta kencana melintas di
depan mereka, dan beruntung bila misa melihat sang ratu dari celah jendela.
“Ratu yang Agung, Ratu yang Mulia...”
seorang anak kecil bergumam sendirian, matanya mengikat erat-erat wajah sang
ratu yang terlihat menyembul dari jendela kereta.
“Ya Tuhan, betapa cantik Sang
Ratu...” Pemuda dengan rambut sebahu, terpana melihat kecantikan wajah sang
ratu. Begitupun semua penduduk negeri dongeng yang melihatnya
“Bang, lihat, betapa cantik sang
ratu. Ya Tuhan, semua perempuan di negeri dongeng ini tentu cemburu pada
kecantikannya.” Ningsih rupanya hadir juga di sana, berdiri paling depan, ikut
berdesakan dengan penduduk yang lain. Di belakangnya berdiri tegap sang pacar.
“Tidak ada yang lebih cantik di
negeri dongeng ini, kecuali pemilik punggung yang saat ini sedang kupeluk.
Bahkan kecantikan Sang Ratu, tidak bermakna bagiku.” Dia berbisik lembut di
telinga Ningsih.
“Ssst... Bang hati-hati dengan
ucapanmu. Kalau Sang Ratu mendengar, bisa mati kamu.” Ningsih mendelik,
tangannya mencubit sang pacar.
“Apa lagi yang harus kukatakan?
Begitulah adanya. Lagian kamu dan semua penduduk di negeri dongeng ini, tertipu
belaka. Tidakkah kamu melihat rupa sang ratu yang sebenarnya?” Dia menunjuk
rupa sang ratu yang masih menyembul di jendela kereta.
“Bang, telunjukmu!” Ningsih segera
membenamkan telunjuk pacarnya yang menduduh tepat ke wajah sang ratu.
“Lihat baik-baik. Rambutnya yang
menjuntai bagaikan malam paling hitam itu, kedua bola matanya yang dihuni
matahari dan rembulan, dan wajahnya yang menyimpan ketenangan telaga. Semua itu
tipu daya belaka.” Dia tidak lagi menunjuk dengan tangannya.
“Apa maksudmu, Bang?”
“Itu sebabnya aku selalu mencari
dunia nyata, itu sebabnya aku selalu berlari mencari jalan untuk meninggaklan
negeri dongeng ini, Ningsih. Segala yang ada di sini, salah belaka, salah
seperti apa yang kamu lihat.”
Dia berhenti bicara, ditatapnya
wajah sang ratu dengan sorot terhunus tajam. Baginya sang ratu terlihat sangat
mengerikan, rambutnya adalah ratusan tangan yang menggenggam belati, matanya di
huni kilatan api dari dasar neraka, bibirnya yang merah semata-mata dipulas
darah yang dihisap dari jantung korban-korbannya. “Cantik...” Ningsih bergumam, tidak ada yang salah dengan
apa yang dilihatnya. Tidak ada yang salah dengan negeri dongeng dan pemimpinnya.
***
“Abangmu kok belum berangkat?” bisik
Zahra, sahabat Ningsih. Sudut matanya mengawasi dia yang terlihat masih
menunggu waktu yang tepat untuk pergi.
Semua
orang tahu, biasanya dia sudah meninggalkan rumah di waktu pagi, berlari entah
ke mana, mencari dunia nyata, mencari sesuatu yang bagi semua orang hanya ada
dalam kepala dia belaka. Mencari negeri yang di dalamnya kesalahan dihukum
sebagai kesalahan, dan kebenaran menempati ruangnya sebagai benar. Tidak
seperti apa yang terjadi di negeri dongeng, benar dan salah, begitu buram, tak
pernah jelas, bahkan tak pernah ada.
“Lagi galau kali.” Ningsih menjawab
sekenanya.
“Wadaw! Hidup di negeri dongeng
nggak boleh galau, obatin geeh.” Zahra
ngeloyor, meninggalkan Ningsih, memberinya isyarat untuk menyampiri dia.
“Bang, kenapa masih di sini?”
Ningsih berdiri kaku di dekatnya.
“Aku ragu, Ningsih.” Dia tak
menoleh, matanya asyik mengikuti gerakan awan-awan di langit sana.
Ada banyak matahari yang rekah di
bola mata Ningsih ketika mendengar pacarnya mulai ragu. “Akhirnya... Kalau
sudah ragu, sudahlah Bang, lupakan dunia itu. Kita hidup di negeri dongen ini,
di negeri yang dipimpin ratu paling cantik sedunia. Kita hidup sejahtera, kita
bahagia di sini.”
“Bukan,
bukan itu. Abang sedang berpikir untuk membawamu. Abang ingin menunjukkan rupa
Sang Ratu yang sebenarnya. Ikutlah bersamaku.” Dia menoleh perlahan, matanya
memancarkan harapan yang amat sangat.
“Aih, Abang tidak perlu menunjukkan
apa pun tentang negeri dongeng ini. Segala kecacatan negeri ini, telah ada
sejak entah kapan. Tunjukkan saja satu hal kepadaku, dunia fantasimu itu. Setelah
itu, aku baru mau percaya pada segala apa yang Abang katakan.” Rasa kesal,
haru, juga kecewa berkecamuk dalam dada Ningsih. Betapa pacarnya itu masih saja
berkutat dengan fantasi bodohnya. Tak pernah ada dunia lain di luar sana, hidup
hanya terjadi di negeri dongeng.
“Benarkah itu saja?” Dia tersenyum
menantang.
“Ya itu saja, dan aku tahu, Abang
tidak akan pernah menemukan dunia itu. Aku tahu, Abang akhirnya akan bisa
menerima negeri dongeng ini sebagai kenyataan. Hidup bersamaku di sini dan kita
berbahagia, selamanya. Selama-lamanya.” Ningsih mendekati sang pacar,
dilekatkannya tatapan yang penuh harap.
“Baiklah... Abang akan menemukan
dunia itu, simpan rindumu kuat-kuat. Abang hanya akan kembali setelah menemukan
dunia itu.”
“Bang jangan marah. Dengarlah, dunia
itu tidak pernah ada. Abang tidak akan pernah menemukan apa pun di luar sana.”
Ningsih merajuk.
“Abang tidak marah kepadamu,
Ningsih. Abang hanya marah kepada negeri dongeng ini, betapa negeri ini begitu
buram, pemimpinnya adalah penjahat, wakil rakyatnya adalah orang-orang serakah,
pejabat negaranya adalah bangsat.”
Tidak ada apa pun yang bisa menahan
keberangkatan seorang lelaki yang dadanya telah disesaki mimpi. Dia pergi
meninggalkan negeri dongeng, kampung halamannya. Dia kini sudah utuh ditelan tiada, jalan setapak yang ditatapi
Ningsih, sudah menelannya di tikungan sana.
Kelak,
dari tikungan yang ditandai pohon meranti itulah, dia akan kembali. Bersama secarik
peta dan cerita tentang dunia yang selama ini hanya ada dalam fantasinya
belaka.
***
“Apa yang salah dengan negeri
dongeng ini? Kebahagiaan ada di sini, salah dan benar juga ada di sini,
meskipun semuanya selalu saja buram tetap saja ini kampung halaman kita, Bang.”
Ningsih tak pernah berhenti mempertanyakan itu.
Setelah
dia tiada, kini Ningsih melulu memikirkan perihal kata-kata pacarnya, perihal
mimpinya tentang dunia yang sempurna. Tetap saja, bagi Ningsih negeri dongeng
adalah negeri yang baik-baik saja, tak ada yang salah, tak ada yang palsu.
”Non, dia tidak akan kembali,
berhentilah menunggunya.” Ucap seorang perempuan tua yang kebetulan lewat.
“Aku sedang menikmati senja, Nek.”
Ningsih berkilah.
“Sudahlah, tidak perlu berbohong.
Aku bisa melihat sorot matamu, merasakan dengus nafasmu, kamu sedang menanti
pacarmu. Kamu tidak harus mati dalam penantian, lupakan pacarmu itu.” Ucap
perempuan itu seraya melenggang.
Ningsih terdiam, disesapinya senja
demi senja, ditempuhnya sekian lama penantian. Kekosongan dan rindu yang kian
beranak-pinak dalam dadanya, suatu saat nanti akan menemukan penawar. Dia akan
pulang, suatu saat nanti. Suatu saat.
“Bang...
Duniamu itu tidak pernah ada, bukan?”
Ningsih bergumam, disesapinya senja
yang semakin temaram. Disesapinya pula derit waktu yang tak pernah berhenti
berputar. Jauh di dalam hatinya, rindu terasa semakin berdenyar. Semakin
bergeletar.
***
“Ningsih, seharusnya kamu percaya
kepadaku. Tempat kita hidup hanyalah dongengan belaka, penuh tipu daya.
Seharusnya kamu percaya.”
Dia mengembuskan nafas panjang dan
dalam, Ningsih dan segala riwayat negeri dongeng mengakar dalam dadanya,
menjadi belantara di dalam ingatannya. Dan tidak ada seorang pun yang mungkin
kembali pada memoar.
“Aku sudah menemukanmu duniaku,
Ningsih. Tapi aku tidak akan pernah kembali. Sekarang, di sini aku hidup, di
sini kebahagian-kebahagianku.” Dia kembali berlari, terus berlari, meliuk-liuk
di antara celah huruf-huruf, melompat dari halaman yang satu ke halaman yang
lain.
Kini,
dia hidup di dalam buku.
Bandung, 11 Oktober 2013
*) Absurditas
Malka, lahir di Karawang dan kini bekerja di PKL Panglima Ikan Bakar Madu - Bandung.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa jam kemudian, Benny Arnas menulis twitt sebagai berikut: "
God (Don't) Save the Queen. Begitu judul sebuah cerpen pagi ini. Sudah keinggris-inggrisan, salah pula! Ai, penulis=redaktur. Payah!"
"Mantap dan pedas" "bwahahahha :D" Begitulah saya menjawab tanggapan di atas. Ya, cuma nyengir, lagian nggak usah terlalu serius nanggapin komentar "terapung" semacam itu. Setiap orang bisa sekonyong-konyong men-
judge, cuma segelintir saja yang bisa membangun kerangka dan landasan megah untuk
judge yang dibuatnya.
Hwarakadah!
Setelah beberapa jam kemudian, dari seorang teman, saya tahu, rupanya bersumber dari FB dengan masalah seputar kata
dont, doesnt, didnt, dll.
Menurut aturan baku bahasa Inggris, kata
GOD harus diikuti oleh kata
DOESNT atau
DIDNT (lampau), bukan
DONT seperti pada judul cerpen di atas.
Ya, benar, kalau judul di atas berupa "pemaparan", penulisannya memang "God Doesnt Save the Queen." (Tuhan tidak menyelamatkan sang ratu)
Hanya saja, judul di atas makdus-nya adalah "Tuhan jangan selamatkan sang ratu" (God Dont Save the Queen).
Begitulah... Sist n Bro...
Hatur nuhun, tanggapannya.
Terima kasih telah membaca :)
Belum ada tanggapan untuk "God (Don't) Save the Queen (Tribun Jabar, edisi Minggu 1 Desember 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar