...
Katakanlah cinta dengan buku. Kemudian mungkin dengan cokelat, dengan penganan yang dibuat penuh perasaan. Bisa jadi, berupa agar-agar berbentuk hati atau jenang tanpa kejelasan bentuk. Buku adalah pembebasan adalah tanda dari kumpulan cahaya.
Dunia ini katakanlah panggung tragedi, maka buku adalah komedi. Membacanya sambil menunggu hujan reda, membebaskan isi kepala dari kekacauan, meluruskan kenyataan yang entah sampai kapan berwajah murah.
Tapi hari ini, segalanya telah jungkir balik, tragedi menjadi komedi, komedi menjadi komedo. Keseharian adalah dagelan, lelucon besar yang dimainkan tanpa kerunutuan nalar. Orang-orang diperankan mati bergelimang di jantung kota Paris. Tuan-tuan yang membela kawan tak lelah meminjam dan mengatasnamakan rakyat. Komedi sebodoh-bodohnya komedi.
Hanya gerimis saja yang kekal, ia tak peduli pada kebalauan, ia tak acuh pada kejungkir-balikan. Ia akan tetap mawar, romantis sekaligus sadis. Ia akan selamanya menjadi derai yang di setiap bulirnya aku mendengar sunyi bisikan. Jerit sepi dari rindu yang tak bertumpu. Lolong sunyi dari asmara yang tak menemu jalan pulang.
Hanya di dalam buku saja, ia bisa berkali-kali kutemukan. Ia bisa berjuta kali aku hidupkan. Sampai lelah, sampai pecah segala pengharapan. Sampai pada akhirnya aku kembali pada ritme gerimis, mengeja bunyi tik tak tik tik yang kemudian tak lagi menjadi suara apa-apa, tidak pula serupa bisik sesiapa.
Jendela kaca. Sederet buku. Sebaris pertanyaan. Keinginan untuk kekal. Ah... Sesungguhnya rindu seringkali lebih alot dari jenang.
Bangkawarah.
... bersambung
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ritme Gerimis 9 Desember, Kadang Rindu Lebih Alot dari Jenang "
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar