Absurditas Malka*
Kamis #1
Apa
yang kamu lihat adalah pemandangan paling nanar yang meggodam ulu hati. Kamu
ingin berserak seketika itu juga, berhablur menjadi tiada. Kamu ingin waktu
berputar ulang dan berharap segala apa yang telah terjadi, tak pernah terjadi.
“Ya
Tuhan... Apa yang terjadi kepada Bapak?” gumammu.
Suaramu pecah,
basah, perih. Rasa nyeri berhamburan dari dalam hati. Di atas bantal yang merah
oleh darah, Bapak terbaring tak sadarkan diri. Di kepalanya ada dua luka
sobekan besar. Kain perban penutup luka memerah, dipulas darah.
Darah merah kehitaman
mengental terburai di mulut Bapak, kamu
memiringkan tubuhnya. Ibu menadah darah-darah itu, kamu merasa perih, begitupun
ibu. Bapak tak sadar, koma, mata kirinya lebam, tertutup rapat. Mata kanannya
terus terbuka setengah, bahkan ketika sedang tidur, tetap terbuka setengah.
Selang infus
menancap di lengan kirinya, meneteskan cairan bening secara ritmis. Selang lain
menempel di lubang hidung, mengembuskan oksigen ke dalam paru-parunya.
Tirai
tersibak, kakak perempuanmu datang bersama mata yang tak hentinya berhujan. Dia
merangkul tubuh Bapak, memeluknya, menciumnya, dan menciumnya lagi. Kedua bola
matanya, semakin deras berhujan. Tirai
kembali tersibak, kakak lelakimu, anak Bapak yang paling besar. Dia datang,
bersawa wajah yang bertirai awan.
Jumat #2
Bip bip
biiip
Tubuh
Bapak sudah terhubung dengan aneka macam kabel, di ruang ICU. Detak jantung,
dengus nafas, dan tanda-tanda hidup semuanya diterjemahkan menjadi grafik dan
angka. Kamu menatapi garis-garis di dalam layar EKG, seperti rumput yang
ujung-ujung runcingnya bersembulan acak, ada juga grafik yang seperti gelombang
lautan. Kamu hanya mengerti sedikit, selebihnya adalah pertanyaan besar.
Kamu
dan semua keluargamu, bergantian menunggui Bapak. Tangannya yang kiri dan kanan
dalam tak sadar tak pernah diam. Bergerak-gerak mencerabut apa saja, menyentuh
apa saja. Hanya gerak tak sadar yang bisa Bapak lakukan, tanpa suara, tanpa
kata-kata, tanpa reaksi. Semuanya tak sadar.
“Saya
tidak bisa mendiagnosa, tidak bisa melakukan apa pun sebelum saya melihat hasil
CT-Scan. Bapak harus segera diCT-Scan, tapi rumah sakit umum daerah sedang
penuh oleh korban banjir, sepertinya Bapak tidak akan bisa segera diCT-Scan.”
Ucap dokter yang memeriksa Bapakmu.
“Kenapa
pasien UGD harus mengantri?”
“Kekuarangan
ruang, minimnya infrastruktur. Begitulah aturannya, pasien yang belum memiliki
ruang rawat, tidak bisa diCT-Scan.” Dokter menjelaskan, menegaskan.
“Tidak ada jalan
lain, Dok? Bapak harus segera ditangani.” Pintamu.
“Ada jalan lain,
kalau keluarga Bapak punya kenalan atau orang dekat di rumah sakit umum daerah.
Bapak bisa segera diCT-Scan.”
Kamu
ingin marah, ingin membakar seluruh dokter yang ada dunia ini. Kamu murka, kamu
teramat sangat murka dengan apa yang baru saja kamu dengar. Tapi amarah, apalah
artinya semua itu?
Kamu dan semua
keluargamu, hanya bisa merasakan sesak. Kamu semakin mengerti betapa birokrasi
di negeri ini, butuh dibenahi. Betapa setiap rumah sakit di negeri ini, butuh
ruang UGD yang lebih banyak. Betapa rumah sakit di negeri ini sudah terlalu banyak
kehilangan nyawa karena proses penanganan pasien UGD yang terlambat.
Sabtu #3
Bip bip biiip
Kabar tentang
Bapak sudah tersebar ke semua keluarga, yang jauh dan yang dekat. Satu demi
satu, keluarga datang melayat, mengalun doa. Kamu di hari itu, juga mendengar kabar
bagus.
“Jam
tiga sore, Bapak bisa diCT-Scan.”
Begitu
ucap petugas medis di rumah sakit tempat merawat Bapakmu. Rupanya benar, harus
ada kenalan, harus pakai jalur politik. Berkat jasa orang nomor satu di kotamu
itu, akhirnya Bapak bisa diCT-Scan meskipun tak memiliki ruang rawat inap. Dia
menelpon langsung kepala rumah sakit umum daerah itu dan memintanya untuk bisa
melakukan CT-Scan kepada Bapak.
Kamu
dan kakak lelakimu, mengantar Bapak ke rumah sakit umum daerah. Setibanya di
sana, Bapak langsung disuntik, diberi penenang agar terdiam. Bapak dibopong ke
mesin CT-Scan dan sinar-X mengabadikan apa yang terjadi dengan kepala Bapak dalam
sebuah gambar klise.
Ambulan
sudah pulang, bersama Bapak yang tak sadar, dan kakak lelakimu yang wajahnya
tak henti bergelayut awan. Kamu kini sendirian, menunggu hasil CT-Scan. Hatimu
berdebar, kamu hanya bisa diam, duduk di bangku tunggu sendirian menikmati
kesunyian.
“Bapak
...” Petugas CT-Scan memanggil nama Bapakmu.
Kamu
berhambur memburu pintu ruangan CT-Scan, seorang perempuan yang seusia dengan
ibumu sudah menyiapkan 2 lembar gambar klise hasil scan.
“Bu,
saya boleh tahu tentang hasil scan-nya?”
Tanyamu, ragu.
Perempuan
itu memampang hasil scan di neon box yang terang. Kamu melihat
gambar tengkorak, lingkaran hitam, dan titik-titik putih. Perempuan itu
menunjuk-nunjuk gambar, memberi penjelasan. Lututmu bergeletar, jiwamu nanar.
Kamu ingin menangis.
“Bapak
mengalami retak tulang kepala di banyak tempat, lima tempat yang paling fatal
adalah di sini, ...” Perempuan itu menunjuk titik-titik pada gambar, dan
menjelaskan apa saja yang perlu kamu ketahui. Kamu bisa melihat betapa tulang
tengkorak itu retak di banyak tempat.
“Titik-titik
putih dalam gambar itu, adalah gumpalan darah. Bapak mengalami pendarahan di
otak, lokasinya menyebar.” Sambung perempuan itu.
“Apakah
Bapak bisa dioperasi?”
“Saya
rasa, terlalu berisiko untuk melakukan operasi. Bapak sudah tua dan lukanya
terlalu banyak. Mungkin, tinggal menunggu waktu saja.”
Pupus,
segala harapanmu pupus.
Doa-doamu
berserak hilang bentuk. Kamu tak tahu kepada malaikat macam apa lagi doa harus
dititipkan, agar Bapak bisa disembuhkan.
Minggu #4
Bip bip
biiip
Bapak
harus segera dioperasi, tapi bukan di rumah sakit umum daerah yang penuh itu.
Bapak akan dirujuk ke Bandung, hanya saja surat rujukan itu baru keluar hari
Senin. Kamu tidak bisa melakukan apa pun, kecuali menunggui hari Minggu dan
melupakan segala apa yang dikatakan oleh petugas oleh CT-Scan.
Tubuh
Bapak terasa panas, detak jantungnya semakin berderap. Grafik-grafik di dalam
layar EKG semakin tak bisa dimengerti. Angka-angka di sana, melampaui batas
normal. Grafiknya berderet rapat-rapat.
Kamu
tak tahu apa yang harus kamu lakukan, kecuali menempelkan handuk hangat untuk
menurunkan suhu badan Bapak.
Senin #5
Bip bip biiip
“Panggil
Kakak-kakakmu.” Ucap Ibu, tegar.
Ya,
ibu adalah yang paling tegar. Selama sekian hari penantian dia tidak terlihat
merengek atau meratap. Dia begitu bersabar menunggui Bapak, mengucapkan kalimat
tahlil di telinga kanan Bapak.
Saudara-saudaramu
sudah berkumpul di ruang ICU. Ibu meminta kamu, kakak perempuanmu, dan kakak
lelakimu untuk mengikhlaskan Bapak, mengampuni dosa-dosanya dan tak lupa ibu
melarang untuk bersedih, apalagi meratap.
Di
dalam layar EKG, grafik sudah melampaui batas normal, grafik sudah nyaris tak
berjarak. Angka-angka sudah menggembung. Ibu memintamu untuk menghubungi semua
keluargamu, agar segera datang ke rumah sakit.
Di
luar sana, azan magrib berkumandang.
Tubuh
Bapak, menjadi
tenang. Grafik di layar EKG kembali normal. Tubuhnya tak lagi demam, suhunya normal 36,7®C. Ibu
menyuruh kakak lelakimu untuk berjaga. Dia hendak menunaikan salat magrib,
bersamamu.
“Tahlilkan
Bapakmu.” Bisik ibu kepada kakak lelakimu.
Kamu
memapah ibu berjalan keluar ruangan. Mengantarnya ke musala.
***
Jam
19.15 WIB.
Kakak lelakimu
dengan wajah yang layu, tergopoh-gopoh memanggil ibu. Kamu dan kakak lelakimu memapah
ibu, mengapingnya berjalan menuju ruang ICU.
Mesin EKG sudah tak bekerja, tak ada lagi yang bisa
diterjemahkannya menjadi grafik dan angka. Semuanya menjadi garis datar, tanpa
angka. Kosong.
Biiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip...
Karawang, 26 Maret 2013
Belum ada tanggapan untuk ","
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar