Noor, aku kembali lagi ke ruang ini, ruang kata-kata yang sempat menjadi cawan dari rindu dan berahi, dari mimpi dan kenangan, dari tawa dan duka, dari Tuhan dan dosa. Aku kembali ke sini, ke dalam jantungmu yang detaknya tak lagi aku rasakan. Bukan untuk mengenang, bukan juga untuk memanggilmu agar kembali menguar peluk dan kecupan.
Aku hanya ingin bersendiri, di titik dunia yang di dalamnya aku merasa telanjang. Tak berbatas dengan hitam dan terang. Tak berjarak dengan keraguan dan keyakinan.
Noor, cinta yang kusimpan satu meter di bawah tanah merah itu, kini telah menjadi bunga. Gerimis berulangkali memetiknya, mempersembahkannya pada genang kenangan. Begitupun angin, ia kerap membawa kelopaknya untuk persembahan pada hantu-hantu ingatan.
Ah, dunia ini akankah sebegitu tenang bila semua di antara kita tidak mampu mengenang?
Noor, kali ini, di sini, tidak sekadar kau yang kuhadirkan. Segalanya kuhadirkan, segalanya aku genggam, cengkeram, agar pecah segala apa yang sekarang tak sanggup aku terjemahkan. Semacam rasa kalut dan rawan tanpa sesiapa ketika suaraku mencari dinding dan gema. Semacam rasa karut dan buram tanpa seseorang ketika akalku mencari cermin dan bayang-bayang. Semacam rasa absurd dan kebahagiaan tanpa sosok ketika batinku mencari jalan dan persimpangan.
Bandung, 21 April 2016
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Ketika Berjuta Jarak Tak Kunjung Menjadi Setapak"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar